
Hati-Hati Memilih Relasi: Lebih Aman berurusan dengan Miliarder daripada ke Mafia
"Berhutang Rp 1 Miliar kepada Bill Gates mungkin hanya akan membuatmu malu. Tapi berhutang Rp10 juta ke Mafia Bos Narkoba bisa membuatmu hilang tinggal Nama."
Di tengah gelombang krisis ekonomi dan tekanan gaya hidup yang kian menggila, tak sedikit orang terjerat utang tanpa sempat memilih dengan siapa mereka berurusan. Sebuah ungkapan sarkastik kembali mengingatkan: Berhutang 1 Miliar kepada Bill Gates lebih aman daripada berhutang 10 juta ke mafia obat bius.
Ungkapan ini kini menjelma jadi refleksi sosial yang menggigit. Banyak kasus menunjukkan, bukan jumlahnya yang menjerat leher, tapi siapa yang berada di seberangnya.
Seorang pengamat kriminal menyatakan, Mereka yang berutang ke korporasi atau individu beradab mungkin cuma ditagih lewat email dan bunga. Tapi kalau ke lingkaran hitam, yang datang bukan notifikasi, melainkan ancaman, bahkan sampai pada Pembunuhan.
Demikian pula soal mencari pertemanan. Dalam masyarakat digital yang serba cepat ini, orang kerap lupa bahwa kualitas relasi bisa menentukan kualitas hidup. Berteman dengan orang beradab dan berdaya finansial lebih menenangkan hati, ketimbang berteman dengan mereka yang akrab dengan intimidasi, dan racun harapan palsu.
LSM dan pemerhati sosial mendorong edukasi finansial dan relasi yang sehat sebagai benteng sosial. Karena salah pilih teman atau tempat berutang bisa berarti salah pilih Nasib. Saat Lingkaran Sosial Menjadi Lingkaran Ancaman
"Bukan hanya bisnis yang butuh due diligence—membangun relasi pun harus lewat audit moral.
Di zaman ketika pertemanan bisa dibangun lewat emoji dan diakhiri dengan "unfollow," jarang orang sadar bahwa salah memilih lingkaran sosial bisa jadi lebih berbahaya daripada salah langkah investasi.
Sebuah ungkapan miris mencuat: *Lebih baik berutang ke miliarder beradab daripada minum kopi bareng mafia yang tersenyum.”
Benar saja, dalam banyak kasus, individu yang terjerat jaringan kriminal bukan karena awalnya berniat jahat—tapi karena salah berteman. Hubungan yang dimulai dengan basa-basi basa kota berakhir di rumah sakit, kantor polisi, atau liang lahat.
Relasi yang keliru tak selalu berpakaian hitam. Kadang mereka datang dengan senyum manis, koneksi cepat, dan janji “bisa bantu ini-itu.” Tapi di baliknya, ada pola eksploitasi, manipulasi, atau keterlibatan dalam aktivitas ilegal yang menjerumuskan siapa pun yang terlalu percaya tanpa filter integritas.
Seorang pengamat sosial menyebutnya “efek sosial termakan branding.” Kita terbuai reputasi semu. Yang penting keren, viral, atau punya akses. Etika dan akal sehat jadi nomor sekian.
Bahaya tidak terlihat ini menjalar seperti asap:
- Tawaran usaha bersama yang ternyata pencucian uang
- Hubungan cinta yang menyembunyikan dunia kriminal
- Pertemanan komunitas yang meminjam nama demi kejahatan kolektif.
Kita hidup di dunia di mana relasi adalah mata uang kedua setelah uang itu sendiri. Dan seperti uang palsu, relasi palsu juga bisa merugikan lebih dari yang terlihat. Maka hati-hatilah: jangan ukur teman dari gaya hidup, ukur mereka dari bagaimana mereka menghadapi batas etika.
Karena terkadang, peluru yang paling mematikan bukan yang ditembakkan—tapi yang datang lewat undangan ngopi dari teman yang salah.