Sports

.

Jumat, 01 Agustus 2025

Wajah Hukum Indonesia : Abolisi Tom Lembong: Bukan Pengampunan, Tapi di Duga Hanya Pengalihan

 

Opini Hukum 

oleh  :

Yan Salam Wahab, SHI, M.Pd  

Abolisi yang diberikan kepada Tom Lembong dalam kasus impor gula bukanlah bentuk belas kasih terhadap seorang mantan pejabat. Ini adalah strategi politik yang rapi—dan licik—untuk menyelamatkan aktor-aktor besar yang bersembunyi di balik kebijakan yang merugikan negara dan rakyat.


Tom Lembong hanyalah pintu masuk. Ia adalah wajah yang ditampilkan ke publik, sementara para pengambil keputusan sesungguhnya, para sponsor kebijakan, dan pelaku bisnis yang diuntungkan dari impor ilegal, tetap berada di balik layar. Dengan menghapus proses hukum terhadap TL, maka proses pengungkapan terhadap mereka pun ikut dihentikan.


Abolisi ini bukan untuk Tom Lembong. Ia hanya dijadikan tameng. Yang sebenarnya diselamatkan adalah:


1. Pengusaha-pengusaha besar yang mengimpor gula tanpa izin resmi, menjual di atas HET, dan meraup keuntungan besar.

2. Aparat penegak hukum yang membiarkan atau bahkan memfasilitasi pelanggaran tersebut.

3. Pejabat-pejabat yang memaksakan kebijakan impor tanpa dasar hukum yang sah.

4. Sponsor politik yang mendesain skenario agar TL menjadi tersangka, lalu dihapuskan demi menutup jejak.


Jika proses banding terhadap TL dibiarkan berjalan, maka pengadilan bisa membuka fakta-fakta baru. Bisa jadi TL hanya menjalankan perintah. Bisa jadi ia dipaksa menandatangani kebijakan yang sudah dirancang oleh pihak lain. Tapi dengan abolisi, semua kemungkinan itu ditutup. Kebenaran dikubur sebelum sempat diuji.


Abolisi ini bukan penyelesaian hukum. Ini adalah pengalihan tanggung jawab. Ini adalah cara halus nan licik untuk menyelamatkan mereka yang seharusnya duduk di kursi terdakwa.


Saya, Yan Salam Wahab, SHI, M.Pd, menyatakan bahwa jika kita ingin membangun negara yang jujur dan berintegritas, maka proses hukum harus dijalankan sampai tuntas. Jangan biarkan abolisi menjadi alat untuk melindungi mereka yang paling bertanggung jawab, tapi paling pandai bersembunyi di Balik Kekuasaan.









Kamis, 31 Juli 2025

Terlalu Bercahaya di Tempat yang Gelap? Siap-Siap Dianggap Lampu Rusak

 

Jadi gini... Kamu masuk kerja, niatnya baik.  

Datang pagi, senyum ramah, kerja bener.  

Kadang bantuin orang, kadang kasih ide.  

Pokoknya kamu tuh... kayak matahari pagi. Cerah, hangat, penuh harapan.

Tapi...  

Lama-lama kamu merasa aneh.  

Kok temen-temen mulai jaga jarak?  

Kok atasan mulai ngasih tugas ngga masuk akal kayak “tolong hitung jumlah pasir di pantai”?

Ternyata...  

Kamu dianggap terlalu bersinar.  

Dan di tempat itu, bersinar = bahaya.


Di Dunia Gelap, Cahaya Itu Gangguan


Di kantor (atau kampus, atau organisasi), kadang ada budaya gelap:

- Gelap karena semua asal kerja, asal absen, asal nggak ribut.

- Gelap karena yang penting “bapak senang”, meski rakyat bingung.

- Gelap karena inovasi dianggap dosa, dan ide baru harus disensor dulu sama senior.


Nah, kamu datang bawa terang.  

Bawa semangat.  

Bawa kejujuran.  

Bawa Excel yang isinya bukan cuma “template lama”.


Eh, malah disuruh redup.  

Karena terangmu bikin silau.  

Dan silau bikin orang nggak bisa tidur siang di jam kerja.


Yang Aktif Dianggap Aneh.vPadahal kamu cuma pengen kerja bener.  

Tapi di tempat gelap, kerja bener itu kayak nyalain senter di bioskop—langsung disuruh keluar.

 Jadi Gimana?

Kalau kamu bersinar dan malah dimusuhi,  

jangan buru-buru nyalahin diri sendiri.  

Mungkin kamu bukan lampu rusak.  

Mungkin kamu cuma nyasar ke gudang yang emang nggak pernah nyalain lampu.

Tetap nyala.  

Karena di luar sana, banyak tempat yang butuh terangmu.  

Dan kalau nggak ada yang butuh? Ya udah, bikin tempat sendiri. Minimal warung kopi yang jujur ngasih harga.










Selasa, 22 Juli 2025

Gajah dan Anak Ayam: Pelajaran Karakter dan Empati dari Makhluk Raksasa yang Lembut

 


Di balik tubuhnya yang besar dan kekuatan fisiknya yang luar biasa, gajah menyimpan sifat yang tak terduga: kelembutan dan empati yang mendalam. Salah satu kisah yang paling menyentuh datang dari dunia penerbangan hewan internasional.


Ketika seekor gajah harus diangkut dengan pesawat dari India ke Amerika Serikat, kandangnya tidak dibiarkan kosong. Sebaliknya, ia dipenuhi dengan anak ayam mungil. Tujuannya bukan untuk hiburan atau eksperimen, melainkan untuk menjaga ketenangan sang gajah.


Meski memiliki tubuh raksasa, gajah dikenal sangat takut menyakiti makhluk lain. Kehadiran anak-anak ayam membuatnya tetap diam dan berhati-hati selama penerbangan, agar tidak melukai mereka. Ini bukan hanya strategi teknis untuk menjaga keseimbangan pesawat, tetapi juga bukti nyata dari sifat sosial dan emosional gajah yang luar biasa.

Dibalik Belalai: Otak yang Peka dan Sosial


Penelitian ilmiah mengungkap bahwa gajah memiliki sel spindel—jenis neuron langka yang juga ditemukan pada manusia dan beberapa primata besar. Sel ini berperan dalam kesadaran diri, empati, dan interaksi sosial. Artinya, gajah bukan hanya cerdas, tetapi juga memiliki kemampuan untuk merasakan dan memahami emosi makhluk lain.


Gajah hidup dalam kelompok sosial yang erat, dipimpin oleh individu yang lebih tua dan bijak. Mereka saling menjaga, saling menghibur saat berduka, dan bahkan menunjukkan ritual saat kehilangan anggota kawanan.


Pelajaran Sosial dari Gajah


Salah satu perilaku paling mengharukan adalah saat gajah merasa ajalnya mendekat. Ia memilih menjauh dari kawanan dan pergi ke tempat terpencil untuk mati sendirian. Tujuannya? Agar yang muda tidak menyaksikan kematiannya dan tidak terbebani oleh kesedihan.


Tindakan ini mencerminkan tiga nilai sosial yang sangat penting:


- Belas kasih  

- Rasa tanggung jawab terhadap sesama  

- Martabat dalam menghadapi akhir kehidupan


Nilai-nilai ini semakin langka di tengah masyarakat modern yang sering kali terjebak dalam kompetisi, ego, dan individualisme.


Refleksi untuk Kita Semua


Di tengah berbagai tantangan sosial—dari konflik, polarisasi, hingga krisis empati—kisah gajah dan anak ayam ini mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada dominasi, melainkan pada kemampuan untuk peduli.


Gajah mengajarkan bahwa menjadi besar bukan soal ukuran tubuh, tetapi soal kelapangan hati.


---


Editor’s Note:  

Kisah ini bukan sekadar cerita tentang hewan. Ia adalah cermin bagi manusia: apakah kita masih mampu bersikap lembut, peduli, dan bermartabat di tengah dunia yang semakin keras?


Senin, 14 Juli 2025

Bisa di sebut OTT atau Bukan? Menimbang Penangkapan yang Tak Lagi Seketika

 

Kita sering dengar istilah “OTT”—Operasi Tangkap Tangan—dipakai dengan gegap gempita, seolah semua penangkapan yang cepat itu pasti sah dan tak perlu dipertanyakan. Padahal, definisi resminya di KUHAP jelas: tertangkap tangan bukan sekadar cepat, tapi juga harus masih dalam rangkaian tindak pidana yang sedang berlangsung.


 Bagaimana kalau pelaku sudah sempat pergi, bahkan membelanjakan sebagian uang hasil kejahatan? Dua jam setelah kejadian, lalu ditangkap—masihkah itu OTT?


Jawabannya tidak hitam-putih. Selama bukti masih bisa ditelusuri, masih dalam serangkaian peristiwa Hukum serta pelaku masih terikat erat dengan peristiwa, dan penangkapan dilakukan berdasar observasi atau laporan masyarakat, penangkapan tersebut bisa tetap sah sebagai Tangkap tangan dengan OTT. 


Tapi... ruang tafsir seperti ini juga bisa jadi ladang manipulasi—apalagi kalau OTT dipakai sebagai panggung Permainan Hukum, bukan penegakan hukum yang bersih.


🕵️‍♂️ Apakah Penangkapan 2 Jam Setelah Kejadian Masih Bisa Disebut OTT?


Pertanyaan Anda menyentuh batasan waktu dan konteks dalam definisi tangkap tangan atau Operasi Tangkap Tangan (OTT). Dalam praktik hukum, waktu memang menjadi faktor penting, tapi bukan satu-satunya penentu. Berikut penjelasan yang bisa membantu:


⚖️ Pasal 1 angka 19 KUHAP menyebut:

"Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan..."


⏰ Bagaimana dengan jeda waktu 2 jam?

- Jika aparat memiliki bukti kuat bahwa pelaku baru saja melakukan tindak pidana (meskipun sudah 2 jam berlalu), dan tindakan tersebut masih punya keterkaitan langsung, maka ini masih bisa dikategorikan sebagai OTT, asalkan:

  - Penangkapan dilakukan berdasarkan pengamatan langsung atau informasi masyarakat yang dapat diverifikasi.

  - Barang bukti (misalnya uang hasil kejahatan) masih berada di tangan pelaku atau jejak transaksi pembelanjaan uang tersebut bisa ditelusuri sebagai bukti relevan.


🧩 Faktor yang Memperkuat OTT Meski Ada Jeda Waktu:

- Pelaku belum sempat menghilangkan jejak barang bukti sepenuhnya.

- Penangkapan masih dalam rangkaian peristiwa tindak pidana.

- Ada dokumentasi (misalnya CCTV, saksi, laporan masyarakat) yang memperkuat keterkaitan antara pelaku dan peristiwa.


Beda  alur penangkapan biasa dg operasi tangkap tangan :


1. Laporan > kejadian pidana > di Tangkap Tangan / OTT

2.  Kejadian pidana > laporan >Penyidikan> pengembangan > di Tangkap Biasa


Perbedaan Penangkapan Biasa vs Operasi Tangkap Tangan (OTT)


🕵️‍♂️ 1. Operasi Tangkap Tangan / OTT

Karakteristik:

- Dilakukan tanpa surat perintah, karena statusnya "tertangkap tangan" sesuai Pasal 1 angka 19 KUHAP.

- Biasanya hasil dari pengintaian, penyadapan, atau informasi masyarakat.

- Barang bukti langsung ditemukan di tempat kejadian atau tangan pelaku.

- Waktu antara tindak pidana dan penangkapan sangat singkat (real-time atau sangat dekat waktunya).

- Umumnya digunakan dalam kasus korupsi, suap, atau tindak pidana dengan bukti langsung.


👮‍♂️ 2. Penangkapan Biasa

Karakteristik:

- Dilakukan dengan surat perintah penangkapan, berdasarkan Pasal 17 KUHAP.

- Prosesnya lebih panjang dan melalui tahapan penyelidikan/pembuktian awal.

- Bisa dilakukan dalam hitungan hari atau bahkan minggu setelah kejadian.

- Penangkapan berdasarkan bukti awal dan pengembangan informasi, bukan kondisi “tertangkap tangan”.

- Berlaku luas untuk berbagai jenis tindak pidana.


- OTT bersifat spontan dan reaktif terhadap peristiwa pidana yang sedang berlangsung.

- Penangkapan biasa bersifat prosedural dan mengikuti jalur administratif penyidikan.

Kamis, 19 Juni 2025

Hati-Hati Memilih Relasi: Lebih Aman berurusan dengan Miliarder daripada ke Mafia

 

"Berhutang Rp 1 Miliar kepada Bill Gates mungkin hanya akan membuatmu malu. Tapi berhutang Rp10 juta ke Mafia Bos Narkoba bisa membuatmu hilang tinggal Nama."

Di tengah gelombang krisis ekonomi dan tekanan gaya hidup yang kian menggila, tak sedikit orang terjerat utang tanpa sempat memilih dengan siapa mereka berurusan. Sebuah ungkapan sarkastik kembali mengingatkan: Berhutang 1 Miliar kepada Bill Gates lebih aman daripada berhutang 10 juta ke mafia obat bius.


Ungkapan ini kini menjelma jadi refleksi sosial yang menggigit. Banyak kasus menunjukkan, bukan jumlahnya yang menjerat leher, tapi siapa yang berada di seberangnya.


Seorang pengamat kriminal menyatakan, Mereka yang berutang ke korporasi atau individu beradab mungkin cuma ditagih lewat email dan bunga. Tapi kalau ke lingkaran hitam, yang datang bukan notifikasi, melainkan ancaman, bahkan sampai pada Pembunuhan.


Demikian pula soal mencari pertemanan. Dalam masyarakat digital yang serba cepat ini, orang kerap lupa bahwa kualitas relasi bisa menentukan kualitas hidup. Berteman dengan orang beradab dan berdaya finansial lebih menenangkan hati, ketimbang berteman dengan mereka yang akrab dengan  intimidasi, dan racun harapan palsu.


LSM dan pemerhati sosial mendorong edukasi finansial dan relasi yang sehat sebagai benteng sosial. Karena salah pilih teman atau tempat berutang bisa berarti salah pilih Nasib. Saat Lingkaran Sosial Menjadi Lingkaran Ancaman


"Bukan hanya bisnis yang butuh due diligence—membangun relasi pun harus lewat audit moral.


Di zaman ketika pertemanan bisa dibangun lewat emoji dan diakhiri dengan "unfollow," jarang orang sadar bahwa salah memilih lingkaran sosial bisa jadi lebih berbahaya daripada salah langkah investasi.  

Sebuah ungkapan miris mencuat: *Lebih baik berutang ke miliarder beradab daripada minum kopi bareng mafia yang tersenyum.”


Benar saja, dalam banyak kasus, individu yang terjerat jaringan kriminal bukan karena awalnya berniat jahat—tapi karena salah berteman. Hubungan yang dimulai dengan basa-basi basa kota berakhir di rumah sakit, kantor polisi, atau liang lahat.


Relasi yang keliru tak selalu berpakaian hitam. Kadang mereka datang dengan senyum manis, koneksi cepat, dan janji “bisa bantu ini-itu.” Tapi di baliknya, ada pola eksploitasi, manipulasi, atau keterlibatan dalam aktivitas ilegal yang menjerumuskan siapa pun yang terlalu percaya tanpa filter integritas.


Seorang pengamat sosial menyebutnya “efek sosial termakan branding.”  Kita terbuai reputasi semu. Yang penting keren, viral, atau punya akses. Etika dan akal sehat jadi nomor sekian.


Bahaya tidak terlihat ini menjalar seperti asap:  

- Tawaran usaha bersama yang ternyata pencucian uang  

- Hubungan cinta yang menyembunyikan dunia kriminal  

- Pertemanan komunitas yang meminjam nama demi kejahatan kolektif.


Kita hidup di dunia di mana relasi adalah mata uang kedua setelah uang itu sendiri. Dan seperti uang palsu, relasi palsu juga bisa merugikan lebih dari yang terlihat. Maka hati-hatilah: jangan ukur teman dari gaya hidup, ukur mereka dari bagaimana mereka menghadapi batas etika.


Karena terkadang, peluru yang paling mematikan bukan yang ditembakkan—tapi yang datang lewat undangan ngopi dari teman yang salah.


Minggu, 15 Juni 2025

Para Aktivis LSM dengan Rumah Anak Surga: Benteng Terakhir bagi Bayi-Bayi Terlantar

 


Di jantung Kota Semarang, tersembunyi sebuah kenyataan pahit yang jarang diperhatikan—bayi-bayi yang kehilangan keluarga sejak lahir, tidak diinginkan, dan terbuang karena keadaan yang tak mereka pilih. Di tengah ketidakpedulian itu, LSM Rumah Anak Surga hadir sebagai benteng terakhir, berusaha menyelamatkan mereka dari nasib yang seharusnya tak mereka alami.


### Bayi-Bayi yang Ditolak Dunia


Setiap tahun, jumlah bayi terlantar terus bertambah, bukan karena kematian orang tua, tetapi akibat kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, atau stigma sosial terhadap ibu yang melahirkan di luar nikah.


Tidak sedikit bayi yang datang ke Rumah Anak Surga dalam kondisi menyedihkan:


- Dibuang di tempat sampah, selokan, bahkan ditinggalkan begitu saja di rumah sakit tanpa identitas.

- Lahir dari ibu dengan gangguan mental, tanpa ada keluarga yang bisa merawatnya.

- Ditolak oleh orang tua kandung karena dianggap sebagai aib keluarga.


Di sinilah LSM Rumah Anak Surga berjuang, menerima bayi-bayi yang ditolak dunia, memberikan mereka kehangatan, perlindungan, dan harapan untuk masa depan.


### Perjuangan yang Tak Pernah Usai


Sebagai panti bayi yang dikelola oleh LSM sosial, Rumah Anak Surga menghadapi tantangan besar setiap hari:


- Pendanaan yang tidak stabil. Tanpa dukungan pemerintah, mereka hanya bisa mengandalkan donasi masyarakat yang sering kali tidak cukup.

- Kapasitas yang semakin terbatas. Setiap bulan bayi baru datang, tetapi ruang dan tenaga pengasuh masih kurang.

- Kurangnya tenaga ahli. Bayi membutuhkan perhatian medis, nutrisi khusus, serta stimulasi perkembangan yang optimal.

- Stigma sosial yang menghancurkan. Masih banyak pihak yang memandang rendah bayi-bayi ini, menganggap mereka sebagai hasil dari kesalahan yang seharusnya tidak dilahirkan.


### Mereka Tak Akan Menyerah


Di tengah keterbatasan, LSM Rumah Anak Surga terus berjuang tanpa pamrih. Mereka percaya bahwa setiap bayi berhak atas kehidupan yang layak, tanpa memandang latar belakang mereka.


- Tidak ada bayi yang harus dihukum atas kesalahan dunia. Mereka berhak mendapatkan cinta, perlindungan, dan kesempatan untuk tumbuh seperti anak lainnya.

- Masyarakat bisa berkontribusi dengan donasi, menjadi relawan, atau sekadar menyebarkan informasi agar lebih banyak orang peduli terhadap bayi yatim dan terlantar.


LSM Rumah Anak Surga bukan sekadar panti bayi—ia adalah perlawanan terhadap sistem sosial yang sering kali abai terhadap mereka yang paling rentan, bukti bahwa kemanusiaan masih hidup, meski dunia semakin keras.?.