Sports

.

Kamis, 16 Oktober 2025

Kisah Sebuah Penjara di Jambi, 𝗜𝗻𝗶𝗹𝗮𝗵 𝗠𝗶𝗿𝗮𝗰𝗹𝗲 𝗶𝗻 𝗖𝗲𝗹𝗹 𝗡𝗼. 𝟳 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗦𝗲𝘀𝘂𝗻𝗴𝗴𝘂𝗵𝗻𝘆a

 

Di film Miracle in Cell No. 7 asal Korea, kita menangis melihat seorang ayah yang difitnah dan dipenjara.  

Tapi ia tetap mencintai putrinya dengan polos, tulus, dan tanpa batas.  

Ia tak berdaya di hadapan hukum, namun kasihnya meluluhkan tembok penjara, menjadikan sel dingin itu rumah penuh cinta.


Kita semua menangis waktu menontonnya.  

Tapi kini, kisah itu bukan lagi adegan.  

Ia hidup.  

Bukan di layar bioskop, tapi di sebuah sel kecil di Mapolsek Sekernan, Kabupaten Muarojambi, Jambi.

Seorang ayah berinisial AF, tahanan titipan dari Polda Jambi, terbaring di lantai sel.  

Tubuhnya letih. Wajahnya tirus.  

Sudah dua bulan ia tak dikunjungi keluarganya.  

Tak ada suara anak. Tak ada pelukan.  

Hanya dingin, sepi, dan waktu yang berjalan pelan.


Lalu malam itu datang.  

Di bawah temaram lampu kantor polisi, langkah kecil mendekat.  

Dua anak dan seorang istri, datang dari Bajubang, Batanghari.  

Menempuh dua jam perjalanan.  

Membawa rindu yang nyaris pecah.


Mereka tak membawa makanan mewah.  

Tak membawa barang berharga.  

Hanya pelukan yang tertunda dan doa yang tak pernah putus.  

Doa agar kepala keluarga mereka masih kuat bertahan.


Namun jeruji besi tetaplah jeruji.  

Ia memisahkan tangan. Memisahkan pipi. Memisahkan hati.  

Sampai akhirnya, seorang polisi bernama Bripka M. Handoko berkata pelan,


> “Buka saja pintunya. Biar anak itu bisa memeluk ayahnya...”


Tak banyak bicara. Tak banyak aturan.  

Hanya manusia yang melihat manusia lain sedang patah, sedang rindu, sedang ingin utuh walau sebentar.


Pintu sel benar-benar dibuka.  

Anak kecil itu berlari.  

Memeluk ayahnya.  

Tanpa ragu. Tanpa takut.  

Tangis pecah.  

Lantai menjadi saksi bagaimana cinta menembus baja, hukum, dan prosedur.


Mereka tidur berpelukan.  

Ayah di dalam sel. Anak di luar.  

Namun malam itu, hati mereka berada di tempat yang sama.


Tak ada kamera. Tak ada sutradara.  

Tapi adegan itu lebih nyata dari film mana pun.  

Lebih jujur dari berita mana pun.  

Lebih dalam dari kata-kata mana pun.


Di pojok ruangan, Bripka Handoko berdiri diam.  

Ia tahu, malam itu bukan sekadar kunjungan.  

Itu adalah bentuk paling murni dari kemanusiaan.  

Sebuah keajaiban kecil yang tak masuk headline, tapi mengguncang hati mereka yang masih percaya bahwa cinta bisa tumbuh bahkan di tempat yang gelap.


Dan ini bukan pertama kalinya.  

Sejak 2023, Handoko dikenal sebagai polisi berhati lembut.  

Ia pernah membuka pintu sel agar seorang anak perempuan bisa memeluk ayahnya.  

Ia percaya, keadilan tak harus dingin.  

Bahwa di balik seragam, manusia tetap punya hati.


Barangkali, di dunia yang makin keras, kita butuh lebih banyak Handoko.  

Yang tahu bahwa hukum tanpa kasih hanyalah dingin tanpa arah.


Karena Miracle in Cell No. 7 bukan hanya cerita dari Korea.  

Ia adalah kisah universal tentang cinta yang tak bisa dipenjara,  

tentang rindu yang tak bisa diborgol,  

tentang hati yang tak mengenal jeruji.


Dan kini, Miracle itu hidup di Jambi.  

Dalam pelukan seorang anak kecil yang akhirnya bisa berkata,


> “Ayah… aku kangen…”


Lalu dunia seketika menjadi lebih lembut.  

Karena untuk sesaat, penjara berubah jadi rumah.










Selasa, 07 Oktober 2025

Ketika Dunia Menolak Menyerah: Aksi Heroik di Jembatan London

 

London — Di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur, sebuah momen sunyi nyaris berubah menjadi tragedi. Seorang pria berdiri di tepi jembatan, kalah dalam pertempuran batin yang tak terlihat oleh siapa pun. Ia siap untuk melepaskan segalanya. Namun, dunia menolak membiarkannya pergi.


Tanpa aba-aba, sekelompok pejalan kaki bergegas maju. Mereka tak mengenal pria itu. Tak tahu namanya. Tapi mereka tahu satu hal: hidupnya tak boleh berakhir di sini. Mereka meraih lengannya, kemejanya, apa pun yang bisa mereka pegang. Selama hampir satu jam, mereka mencengkeramnya erat, berbicara lembut, menawarkan harapan, menolak membiarkan kegelapan menang.


Lihatlah tangan-tangan itu—bergetar, berkeringat, namun tak pernah melepaskan. Kekuatan bukan dari otot, tapi dari cinta yang tak bersyarat. Kepedulian yang lahir bukan dari hubungan darah, melainkan dari nurani yang masih hidup. Orang-orang asing, terikat bukan oleh persahabatan, melainkan oleh rasa kemanusiaan yang sama, berdiri di antara hidup dan mati, menjadi benteng terakhir dari harapan yang nyaris padam.


Pada akhirnya, bantuan profesional tiba. Ia ditarik kembali ke tempat aman—karena ketika ia sangat membutuhkannya, dunia hadir dengan tangan terbuka. Dunia yang mungkin tak pernah ia percayai, kini memeluknya tanpa syarat.


Inilah wajah kemanusiaan. Beginilah rupa harapan.  

Penghargaan setinggi-tingginya untuk Veraxa, yang merekam bukan hanya kejadian, tapi denyut nadi kemanusiaan itu sendiri.



Jumat, 01 Agustus 2025

Wajah Hukum Indonesia : Abolisi Tom Lembong: Bukan Pengampunan, Tapi di Duga Hanya Pengalihan

 

Opini Hukum 

oleh  :

Yan Salam Wahab, SHI, M.Pd  

Abolisi yang diberikan kepada Tom Lembong dalam kasus impor gula bukanlah bentuk belas kasih terhadap seorang mantan pejabat. Ini adalah strategi politik yang rapi—dan licik—untuk menyelamatkan aktor-aktor besar yang bersembunyi di balik kebijakan yang merugikan negara dan rakyat.


Tom Lembong hanyalah pintu masuk. Ia adalah wajah yang ditampilkan ke publik, sementara para pengambil keputusan sesungguhnya, para sponsor kebijakan, dan pelaku bisnis yang diuntungkan dari impor ilegal, tetap berada di balik layar. Dengan menghapus proses hukum terhadap TL, maka proses pengungkapan terhadap mereka pun ikut dihentikan.


Abolisi ini bukan untuk Tom Lembong. Ia hanya dijadikan tameng. Yang sebenarnya diselamatkan adalah:


1. Pengusaha-pengusaha besar yang mengimpor gula tanpa izin resmi, menjual di atas HET, dan meraup keuntungan besar.

2. Aparat penegak hukum yang membiarkan atau bahkan memfasilitasi pelanggaran tersebut.

3. Pejabat-pejabat yang memaksakan kebijakan impor tanpa dasar hukum yang sah.

4. Sponsor politik yang mendesain skenario agar TL menjadi tersangka, lalu dihapuskan demi menutup jejak.


Jika proses banding terhadap TL dibiarkan berjalan, maka pengadilan bisa membuka fakta-fakta baru. Bisa jadi TL hanya menjalankan perintah. Bisa jadi ia dipaksa menandatangani kebijakan yang sudah dirancang oleh pihak lain. Tapi dengan abolisi, semua kemungkinan itu ditutup. Kebenaran dikubur sebelum sempat diuji.


Abolisi ini bukan penyelesaian hukum. Ini adalah pengalihan tanggung jawab. Ini adalah cara halus nan licik untuk menyelamatkan mereka yang seharusnya duduk di kursi terdakwa.


Saya, Yan Salam Wahab, SHI, M.Pd, menyatakan bahwa jika kita ingin membangun negara yang jujur dan berintegritas, maka proses hukum harus dijalankan sampai tuntas. Jangan biarkan abolisi menjadi alat untuk melindungi mereka yang paling bertanggung jawab, tapi paling pandai bersembunyi di Balik Kekuasaan.









Kamis, 31 Juli 2025

Terlalu Bercahaya di Tempat yang Gelap? Siap-Siap Dianggap Lampu Rusak

 

Jadi gini... Kamu masuk kerja, niatnya baik.  

Datang pagi, senyum ramah, kerja bener.  

Kadang bantuin orang, kadang kasih ide.  

Pokoknya kamu tuh... kayak matahari pagi. Cerah, hangat, penuh harapan.

Tapi...  

Lama-lama kamu merasa aneh.  

Kok temen-temen mulai jaga jarak?  

Kok atasan mulai ngasih tugas ngga masuk akal kayak “tolong hitung jumlah pasir di pantai”?

Ternyata...  

Kamu dianggap terlalu bersinar.  

Dan di tempat itu, bersinar = bahaya.


Di Dunia Gelap, Cahaya Itu Gangguan


Di kantor (atau kampus, atau organisasi), kadang ada budaya gelap:

- Gelap karena semua asal kerja, asal absen, asal nggak ribut.

- Gelap karena yang penting “bapak senang”, meski rakyat bingung.

- Gelap karena inovasi dianggap dosa, dan ide baru harus disensor dulu sama senior.


Nah, kamu datang bawa terang.  

Bawa semangat.  

Bawa kejujuran.  

Bawa Excel yang isinya bukan cuma “template lama”.


Eh, malah disuruh redup.  

Karena terangmu bikin silau.  

Dan silau bikin orang nggak bisa tidur siang di jam kerja.


Yang Aktif Dianggap Aneh.vPadahal kamu cuma pengen kerja bener.  

Tapi di tempat gelap, kerja bener itu kayak nyalain senter di bioskop—langsung disuruh keluar.

 Jadi Gimana?

Kalau kamu bersinar dan malah dimusuhi,  

jangan buru-buru nyalahin diri sendiri.  

Mungkin kamu bukan lampu rusak.  

Mungkin kamu cuma nyasar ke gudang yang emang nggak pernah nyalain lampu.

Tetap nyala.  

Karena di luar sana, banyak tempat yang butuh terangmu.  

Dan kalau nggak ada yang butuh? Ya udah, bikin tempat sendiri. Minimal warung kopi yang jujur ngasih harga.










Selasa, 22 Juli 2025

Gajah dan Anak Ayam: Pelajaran Karakter dan Empati dari Makhluk Raksasa yang Lembut

 


Di balik tubuhnya yang besar dan kekuatan fisiknya yang luar biasa, gajah menyimpan sifat yang tak terduga: kelembutan dan empati yang mendalam. Salah satu kisah yang paling menyentuh datang dari dunia penerbangan hewan internasional.


Ketika seekor gajah harus diangkut dengan pesawat dari India ke Amerika Serikat, kandangnya tidak dibiarkan kosong. Sebaliknya, ia dipenuhi dengan anak ayam mungil. Tujuannya bukan untuk hiburan atau eksperimen, melainkan untuk menjaga ketenangan sang gajah.


Meski memiliki tubuh raksasa, gajah dikenal sangat takut menyakiti makhluk lain. Kehadiran anak-anak ayam membuatnya tetap diam dan berhati-hati selama penerbangan, agar tidak melukai mereka. Ini bukan hanya strategi teknis untuk menjaga keseimbangan pesawat, tetapi juga bukti nyata dari sifat sosial dan emosional gajah yang luar biasa.

Dibalik Belalai: Otak yang Peka dan Sosial


Penelitian ilmiah mengungkap bahwa gajah memiliki sel spindel—jenis neuron langka yang juga ditemukan pada manusia dan beberapa primata besar. Sel ini berperan dalam kesadaran diri, empati, dan interaksi sosial. Artinya, gajah bukan hanya cerdas, tetapi juga memiliki kemampuan untuk merasakan dan memahami emosi makhluk lain.


Gajah hidup dalam kelompok sosial yang erat, dipimpin oleh individu yang lebih tua dan bijak. Mereka saling menjaga, saling menghibur saat berduka, dan bahkan menunjukkan ritual saat kehilangan anggota kawanan.


Pelajaran Sosial dari Gajah


Salah satu perilaku paling mengharukan adalah saat gajah merasa ajalnya mendekat. Ia memilih menjauh dari kawanan dan pergi ke tempat terpencil untuk mati sendirian. Tujuannya? Agar yang muda tidak menyaksikan kematiannya dan tidak terbebani oleh kesedihan.


Tindakan ini mencerminkan tiga nilai sosial yang sangat penting:


- Belas kasih  

- Rasa tanggung jawab terhadap sesama  

- Martabat dalam menghadapi akhir kehidupan


Nilai-nilai ini semakin langka di tengah masyarakat modern yang sering kali terjebak dalam kompetisi, ego, dan individualisme.


Refleksi untuk Kita Semua


Di tengah berbagai tantangan sosial—dari konflik, polarisasi, hingga krisis empati—kisah gajah dan anak ayam ini mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada dominasi, melainkan pada kemampuan untuk peduli.


Gajah mengajarkan bahwa menjadi besar bukan soal ukuran tubuh, tetapi soal kelapangan hati.


---


Editor’s Note:  

Kisah ini bukan sekadar cerita tentang hewan. Ia adalah cermin bagi manusia: apakah kita masih mampu bersikap lembut, peduli, dan bermartabat di tengah dunia yang semakin keras?


Senin, 14 Juli 2025

Bisa di sebut OTT atau Bukan? Menimbang Penangkapan yang Tak Lagi Seketika

 

Kita sering dengar istilah “OTT”—Operasi Tangkap Tangan—dipakai dengan gegap gempita, seolah semua penangkapan yang cepat itu pasti sah dan tak perlu dipertanyakan. Padahal, definisi resminya di KUHAP jelas: tertangkap tangan bukan sekadar cepat, tapi juga harus masih dalam rangkaian tindak pidana yang sedang berlangsung.


 Bagaimana kalau pelaku sudah sempat pergi, bahkan membelanjakan sebagian uang hasil kejahatan? Dua jam setelah kejadian, lalu ditangkap—masihkah itu OTT?


Jawabannya tidak hitam-putih. Selama bukti masih bisa ditelusuri, masih dalam serangkaian peristiwa Hukum serta pelaku masih terikat erat dengan peristiwa, dan penangkapan dilakukan berdasar observasi atau laporan masyarakat, penangkapan tersebut bisa tetap sah sebagai Tangkap tangan dengan OTT. 


Tapi... ruang tafsir seperti ini juga bisa jadi ladang manipulasi—apalagi kalau OTT dipakai sebagai panggung Permainan Hukum, bukan penegakan hukum yang bersih.


🕵️‍♂️ Apakah Penangkapan 2 Jam Setelah Kejadian Masih Bisa Disebut OTT?


Pertanyaan Anda menyentuh batasan waktu dan konteks dalam definisi tangkap tangan atau Operasi Tangkap Tangan (OTT). Dalam praktik hukum, waktu memang menjadi faktor penting, tapi bukan satu-satunya penentu. Berikut penjelasan yang bisa membantu:


⚖️ Pasal 1 angka 19 KUHAP menyebut:

"Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan..."


⏰ Bagaimana dengan jeda waktu 2 jam?

- Jika aparat memiliki bukti kuat bahwa pelaku baru saja melakukan tindak pidana (meskipun sudah 2 jam berlalu), dan tindakan tersebut masih punya keterkaitan langsung, maka ini masih bisa dikategorikan sebagai OTT, asalkan:

  - Penangkapan dilakukan berdasarkan pengamatan langsung atau informasi masyarakat yang dapat diverifikasi.

  - Barang bukti (misalnya uang hasil kejahatan) masih berada di tangan pelaku atau jejak transaksi pembelanjaan uang tersebut bisa ditelusuri sebagai bukti relevan.


🧩 Faktor yang Memperkuat OTT Meski Ada Jeda Waktu:

- Pelaku belum sempat menghilangkan jejak barang bukti sepenuhnya.

- Penangkapan masih dalam rangkaian peristiwa tindak pidana.

- Ada dokumentasi (misalnya CCTV, saksi, laporan masyarakat) yang memperkuat keterkaitan antara pelaku dan peristiwa.


Beda  alur penangkapan biasa dg operasi tangkap tangan :


1. Laporan > kejadian pidana > di Tangkap Tangan / OTT

2.  Kejadian pidana > laporan >Penyidikan> pengembangan > di Tangkap Biasa


Perbedaan Penangkapan Biasa vs Operasi Tangkap Tangan (OTT)


🕵️‍♂️ 1. Operasi Tangkap Tangan / OTT

Karakteristik:

- Dilakukan tanpa surat perintah, karena statusnya "tertangkap tangan" sesuai Pasal 1 angka 19 KUHAP.

- Biasanya hasil dari pengintaian, penyadapan, atau informasi masyarakat.

- Barang bukti langsung ditemukan di tempat kejadian atau tangan pelaku.

- Waktu antara tindak pidana dan penangkapan sangat singkat (real-time atau sangat dekat waktunya).

- Umumnya digunakan dalam kasus korupsi, suap, atau tindak pidana dengan bukti langsung.


👮‍♂️ 2. Penangkapan Biasa

Karakteristik:

- Dilakukan dengan surat perintah penangkapan, berdasarkan Pasal 17 KUHAP.

- Prosesnya lebih panjang dan melalui tahapan penyelidikan/pembuktian awal.

- Bisa dilakukan dalam hitungan hari atau bahkan minggu setelah kejadian.

- Penangkapan berdasarkan bukti awal dan pengembangan informasi, bukan kondisi “tertangkap tangan”.

- Berlaku luas untuk berbagai jenis tindak pidana.


- OTT bersifat spontan dan reaktif terhadap peristiwa pidana yang sedang berlangsung.

- Penangkapan biasa bersifat prosedural dan mengikuti jalur administratif penyidikan.