Sports

.

Rabu, 07 Desember 2011

Melihat Sebuah Kesenjangan Sosial di Kerinci United

 


Oleh :
Yan Salam Wahab

Pada konteks permasalahan Judul diatas, teori modernisasi yang mensyaratkan adanya kondisi  stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, merupakan pilihan pemerintah dalam menetapkan model pembangunan Daerahnya. Ciri yang menonjol didalamnya tetap berfokus pada stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian ada pergeseran atau kekurangan pada segi pemerataan. Sehingga, aspek pemerataan pun menjadi karakteristik yang menonjol dalam rencana pembangunan pada beberapa dekade terakhir.
Markas KODIM/0417 Kerinci Tempo Doeloe
Karena model pembangunan Kabupaten Kerinci yang bertumpu pada prioritas pertumbuhan ekonomi, maka sebagai konsekwensi logis dari semua ini, Kerinci dituntut untuk berorientasi ke pasar yang mensyaratkan adanya kemampuan bersaing mencari Keuntungan sebanyak-banyaknya.
Dan sebagai akibat lainnya dari model perekonomian yang berorientasi pasar, telah mengkondisikan para pelaku ekonomi di Kerinci tunduk pada persaingan. Kencenderungan lahirnya persaingan bebas, menjadi relevan, jika disandingkan dengan tuntutan dimilikinya kemampuan dan ketangguhan dari para pelaku ekonomi ketika harus menunjukkan kediriannya. Kemampuan dan ketangguhan ini, tentunya meliputi kualitas diri, kuantitas finansial, kualitas manajerial dan sebagainya untuk selalu menjadi yang terunggul ditengah-tengah persaingan internal maupun eksternal. Hanya mereka yang berkualitaslah yang selalu akan jadi pemenang dari sebuah persaingan.
Dalam hal ini realita yang tampak di Kota Sungai Penuh, khususnya pasar Sungai Penuh, kesenjangan sangat jelas sekali tampak pada masyarakat. Terutama antara masyarakat Asli dengan masyarakat Pendatang. Dalam hal ini, masyarakat pendatang cenderung sebagai komunitas pemilik modal yang kuat, sedangkan masyarakat asli tidak.
Para pemilik modal kuat tentu terus akan meluaskan dan membesarkan keragaman lahan bisnisnya, baik dengan memanfaatkan kemudahan fasilitas pemerintah atau melalui kerjasama gabungan dengan sesama pemilik modal yang sudah kuat untuk memperkuat daya saing (bahkan daya monopoli), merupakan kenyataan yang sulit dipungkiri. Maka, makin meruyaklah pelapisan elit bisnis yang tidak merata. Disatu pihak, tercipta elit bisnis yang makin membesar dan menguat, namun di sisi lain pengusaha-pengusaha lemah makin disudutkan dan begitu kesulitan untuk memajukan usahanya.
Merupakan sebuah Ironi, pengusaha-pengusaha besar yang sukses itu adalah hanya sebagian kecil dan itu-itu saja yang selalu dapat tampil, sehingga mereka mampu menekan dan mengendalikan pengusaha-pengusaha kecil yang lemah untuk tidak tampil keatas arena penyaluran bisnis yang dikuasai oleh hanya beberapa kelompok. Akibatnya, persaingan-persaingan yang semestinya didasarkan kepada kesungguhan kualitas, berubah menjadi persaingan yang tidak sehat lagi.
Dalam pada itu, hingga saat ini belum ada peraturan pemerintah yang memadai untuk mengurangi atau mencegali praktek-praktek ekonomi yang secara esensial bertentangan dengan kerangka normatif sistem perekonomian Daerah. Dan yang lebih parah lagi, ada praktek-praktek bisnis yang mengeruk keuntungan yang berlimpah ruah dari sebuah wilayah/daerah tertentu, namun daerah/wilayah itu sendiri tidak memperoleh keuntungan yang berarti.
Padahal, tidak sedikit lahirnya pengusaha-pengusaha besar atau para konglomerat itu berkat fasilitas pemerintah seperti para kontraktor, yang notabene adalah hak dan bagian yang sah dari kepemilikan rakyat Kerinci umumnya. Kalau begitu, wajar, apabila para pengusaha besar berkewajiban untuk menyatakan terima kasihnya kepada rakyat banyak melalui penciptaan kerjasama dan melibatkan partisipasi rakyat.
Hal di atas bisa dilakukan dengan berusaha memberikan peluang kepada rakyat kecil, baik di sekitar kawasan industrinya atau usahanya berlokasi atau mungkin dalam jangkauan wilayah yang lebih luas lagi untuk menjadi pemasok bahan baku atau mengembangkan home industry yang memasok bagian-bagian tertentu dari sebuah produk yang dihasilkan industrinya tersebut. Seandainya pola ini diterapkan dengan kesungguhan dari semua pihak, langsung maupun tidak akan mendidik dan memotivasi rakyat atau pengusaha-pengusaha kecil untuk menjadi wiraswastawan sejati.
Disamping itu, model pengembangan industri yang melibatkan potensi atau partisipasi rakyat sekitar, dengan sendirinya akan menangkal terpusatnya industri dan sumber keuangan di kota saja. Dengan makin menyebarnya pengembangan industri yang melibatkan potensi sekitar, yang sebelumnya merupakan wilayah pinggiran dan belum seimbang menikmati hasil pembangunan, akan terangkat dengan sendirinya. Kondisi dan pengembangan model industri (jasa, manufaktur, agrobisnis dan seterusnya) seperti dimuka selayaknya mampu juga dikembangkan kedalam ukuran yang lebih menyeluruh. sebab, secara luas kita masih mempunyai isue pembangunan yang terlalu memberat ke wilayah Sungai Penuh dan sekitarnya saja, telah mengakibatkan kesenjangan pembangunan diwilayah Kabupaten Kerinci lainnya (wilayah pinggiran).
Seandainya gejala tadi tidak diperdulikan dengan perencanaan pembangunan yang sungguh-sungguh melibatkan potensi dan hak perwilayah, kita khawatir masalah kesenjangan sosial menjadi titik kritis bagi kelansungan pembangunan Daerah itu sendiri. Apabila, fenomena umum yang kini masih mewarnai dinamika pembangunan Daerah Kerinci, justru terletak ...........
..............pada kesenjangan penikmatan hasil pembangunan antara desa dan kota. Sementara itu, kita semua memahaminya bahwa bagian terbesar rakyat Kerinci berada di Desa.
Suatu hal yang amat mungkin terjadi bila kesenjangan desa dan kota dibiarkan terus tanpa penanganan yang serius, bukan mustahil rasa ketidakpuasan sebagian besar rakyat Kerinci itu akan melewati ambang batas tak terkendali, maka akan menjadi potensial bagi faktor pemicu perpecahan.
Oleh karena itu, kearifan pemerintah dan para pengusaha besar untuk peduli terhadap tantangan, yakni belum terjembataninya kesenjangan sosial selama ini, sesungguhnya merupakan faktor kunci untuk menyelesaikan atau setidaknya mengurangi jurang kesenjangan sosial tersebut.
Sejalan dengan kesenjangan desa dan kota adalah makin meruyaknya jarak yang melebar antara posisi lapisan bawah, menengah dan atas. Ketiga lapisan ini seolah-olah merupakan bagian sendiri-sendiri dan terpisah satu dengan lainnya. Sebagai konsekuensinya bisa dilihat secara jelas pada bidang garapannya yang nyaris tak ada hubungannya sama sekali. Penulis merasakan sendiri bahkan tidak jarang ada intervensi dari kalangan atas ke dalam sumber-sumber ekonomi lapisan bawah atau menengah. Sehingga peluang bagi lapisan bawah untuk mempertinggi martabatnya menjadi semakin sempit dan hampir tak tersisa.
Kalau kita teliti secara langsung, pelapisan status sosial masyarakat yang tidak seimbang tersebut, menciptakan pula jurang yang lebar antara si kaya dan si miskin. Kesenjangan yang tetap melebar ini terlihat juga dalam pemanfaatan setiap peluang mengembangkan diri seperti yang pernah penulis sendiri rasakan. Jadi, bukan rahasia lagi kalau misalnya, fasilitas kredit bank yang senyogianya diperuntukkan bagi lapisan bawah, tenyata banyak dinikmati oleh orang-orang kaya atau pengusaha-pengusaha besar yang mengatas namakan golongan ekonomi lemah. Dengan begitu, tidak mengherankan jika yang kaya makin terbuka peluangnya untuk makin kaya. Sementara, yang lemah atau miskin, semakin tak kebagian apa-apa. Atau, kalau kebagianpun hanya bagian terkecilnya.
Pencapaian kondisi, sistem dan mekanisme ini, memang tidak semudah yang dibicarakan. Apalagi, antara persoalan ekonomi dengan segala solusinya, bisa dipastikan tak bisa dilepaskan dari persoalan format politik Pemerintah Daerah sendiri. Oleh sebab itu untuk memudahkan terjembataninya kesenjangan sosial yang diakibatkan oleh pertum-buhan ekonomi yang tidak merata, pasti memerlukan political will dari supra struktur politik untuk segera membenahi problematika lanjutan dengan segala akibat negatifnya dari masalah perekonomian yang ada sekarang,
Dalam hal ini, kita tidak perlu malu untuk mengakui segala kekurangan yang ada, asal ada kesungguhan untuk memperbaikinya di masa mendatang. Keterbukaan terhadap kepentingan diatas memang makin terasa mendesak, dan tidak bisa ditunda-tunda lagi. Sebab, dengan memperlambat penyelesaiannya, itu berarti mempercepat ketidakpuasan dan kekecewaan rakyat pada titik yang mudah meledak.
Satu hal yang tak bisa ditepiskan, kenapa dalam pembangunan daerah terdapat kecenderungan dan realitas meruyaknya kesenjangan sosial adalah, pola dan pendekatan pembangunan yang terlalu mengandalkan konsep dari atas ke bawah (top down). Selama ini, ada kesan yang begitu kuat, inisiatif pembangunan lebih banyak dipegang oleh pemerintah dengan melibatkan pula lapisan elit bisnis tertentu. Sehingga, menjadi wajar, kalau tumbuhnya inisiatif membangun dari lapisan rakyat banyak mengesankan lambat.
Memang sebuah akibat yang tak terelakan. Rakyat lebih banyak menunggu instruksi. Sehingga menjadi wajar pula, bila rakyat seperti lak sanggup memperbaiki nasibnya berdasarkan peluang atau kesempatan menikmati kesempatan merasakan hasil pembangunan yang sebenarnya sudah membesar. Jadilah, kesenjangan sosial pun makin melebar.
Oleh sebab itu, untuk mempersempit kesenjangan sosial yang makin meruyak tersebut di masa mendatang, para pengambil keputusan harus berani memperhitungkan kembali pola pendekatan pembangunan yang selama ini berlangsung. Yaitu, dengan melalui pola pendekatan dari bawah ke atas (bottom up) yang intensif.
Pendekatan tersebut, sesungguhnya merupakan sisi lain dari sebuah upaya mewujudkan bentuk demokrasi ekonomi. Di dalamnya ada perhatian yang proposional terhadap kemampuan dan hak ekonomi rakyat Kerinci. Keberhasilan pemerataan dan keadilan sosial ekonomi dengan cara bottom up, membutuhkan kesabaran dan perubahan yang bersifat struktural maupun kultural. Konsekuensi ini harus diambil, kalau memang, ada keinginan untuk merubah atau mengatasi kesenjangan sosial yang melanda rakyat Kabupaten Kerinci.
Peran serta rakyat dalam kaitan permasalahan diatas, dijadikan sebagai fokus sentral pelaku pembangunan yang aktif. Dalam istilah lainnya, Potensi Ekonomi, Sosial dan Politik Rakyat, benar-benar mendapat posisi yang menentukan dalam konstelasi dan dinamika pembangunan Daerah Kerinci. Dengan harapan, tidak ada satu proses pembangunan pun yang luput dari peran serta rakyat. Pada kaitan ini, rakyat menjadi pelaku dan sekaligus penikmat hasil pembangunan di segala bidang.
Bila pola ini berjalan efektif, bisa dipastikan, isu kesenjangan sosial tidak akan menjadi permasalahan kritis. Sebagai kelanjutan pola ini, ada baiknya para pembuat keputusan juga mempertimbangkan pendekatan yang diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat banyak. Bila hal ini tidak kita tanggapi secara positif dan serius, maka untuk masa-masa yang akan datang kesenjangan sosial ini akan dapat menjadi ancaman kerawanan gejolak sosial, dalam Masyarakat Kerinci.

Tidak ada komentar:
Write komentar