Sekarang pemerintah tidak perlu lagi ribut soal radikalisme, tidak perlu represi, tidak perlu dana hibah. Semua cara lama itu kasar dan mudah terbaca. Jurus baru lebih halus, lebih modern, lebih kapitalis. Caranya sederhana: “Ini, ambil tambang dan hutan saja.”
Dan seketika mimbar berubah jadi konsesi. Yang dulu bicara surga, kini bicara lahan. Yang dulu bicara doa, kini bicara izin usaha. Yang dulu bicara umat, kini sibuk rapat bisnis.
Tambang dan pembalakan hutan bukan hanya mengalihkan perhatian. Mereka merobohkan ormas dari dalam. Yang dulu jadi benteng moral, kini sibuk hitung keuntungan. Yang dulu menegur penguasa, kini menunggu tanda tangan izin. Yang dulu menggerakkan rakyat, kini sibuk memoles citra perusahaan.
Akibatnya jelas: suara moral hilang, wibawa runtuh, dan rakyat kehilangan pelindung. Tambang dan pembalakan hutan merenggut nyawa. Hutan digunduli, sungai tercemar, desa tenggelam, banjir bandang dan longsor jadi langganan. Ribuan orang kehilangan tanah, kehilangan rumah, kehilangan keluarga. Nyawa melayang bukan karena perang, tapi karena kerakusan.
Rakyat hanya bisa nyengir pahit melihat ironi. Ormas yang dulu lantang kini jadi humas perusahaan. Yang dulu menegur penguasa kini menunggu izin konsesi. Yang dulu benteng publik kini jadi bagian permainan sumber daya.
Negara tidak perlu perang frontal. Cukup berikan godaan. Dan lawan pun sibuk menghancurkan diri sendiri, sementara rakyat ikut terkubur di bawah reruntuhan hutan dan tambang.
Dulu ormas menakutkan karena moralitas.
Hari ini mereka tidak menakutkan karena konsesi.
Dulu kekuatan ada pada umat.
Hari ini tergadai pada izin usaha.
Tambang dan pembalakan hutan adalah jurus sunyi paling mematikan: merobohkan ormas tanpa suara, membuat mereka runtuh bukan karena ditindas, melainkan karena digoda.







Tidak ada komentar:
Write komentar